Workshop Pututhan, Memahami Islam Dalam Busana Adat Keraton Yogyakarta

7 min read
0
564

genpijogja.com – Keraton Yogyakarta memiliki banyak adat dan budaya yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah gaya berbusana. Ragam busana Keraton Yogyakarta dipamerkan dalam Pameran Hadibusana Keraton Yogyakarta bertemakan Abalakuswa. Tidak hanya pameran, Keraton Yogyakarta juga menggelar banyak workshop untuk menyebarluaskan pengetahuan berbusana pakem Yogyakarta kepada khalayak luas.

Sabtu, 14 Maret 2020 Keraton Yogyakarta mengadakan workshop Pututhan. Peserta workshop adalah masyarakat umum yang datang dari berbagai latar belakang. Acara ini dilaksanakan di Balebang, kompleks Siti Hinggil Keraton Yogyakarta.

pututhan keraton Yogyakarta

Pututhan adalah busana adat yang digunakan anak laki-laki dalam prosesi sunatan/khitanan. Sunat atau Khitan, dalam agama Islam, menjadi titik awal bagi anak laki-laki Muslim memasuki usia akil baligh (dewasa). Tentu saja, menjadi dewasa dalam konsep Islam memiliki dampak hukum berupa hak dan kewajiban.

Keraton Yogyakarta yang sejak berdirinya merupakan kerajaan Islam memberi perhatian khusus kepada konsep daur ulang menurut Islam dan memaknainya dengan prosesi adat yang sesuai kearifan lokal.

Nama pututhan memang tidak se-familiar nama Sunatan atau Khitanan. Akan tetapi, dalam budaya Jawa, busana Pututhan jamak digunakan anak laki-laki dalam prosesi adat sunatan. Baik oleh Putra Raja, keluarga Keraton maupun masyarakat umum yang ingin memakainya.

Tentu saja ada perbedaan tata busana antara putra raja, keluarga raja dan masyarakat umum. Kain dan aksesoris tertentu hanya boleh dikenakan oleh Putra Sultan.

Melalui Workshop Berbusana Adat Pututhan yang digelar oleh Keraton Yogyakarta, peserta tidak hanya mengulik bagaimana busana ketika acara sunatan atau khitanan, tapi juga apa perbedaan mendasar antara busana Pututhan yang dikenakan keluarga Keraton dengan busana Pututhan yang boleh dikenakan oleh masyarakat umum.

pututhan 2

Busana merupakan salah satu simbol untuk menunjukkan kekuasaan dan kedudukan. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, ada peraturan-peraturan tertentu yang ditetapkan oleh Sultan. Tentang bagaimana tata busana yang boleh digunakan di dalam dan di luar lingkungan Keraton Yogyakarta. Masyarakat Jogja menjaga adat istiadat ini dengan mempelajari dan mematuhi peraturan yang ada.

Busana adat pututhan yang dipraktekkan langsung dalam Workshop Berbusana Adat yang digelar oleh Keraton Yogyakarta adalah busana untuk Putra Raja.

Tata cara memakai busana pututhan tersebut dan makna-maknanya dijelaskan oleh Nyai Raras dan Nyai Ndari. Pada awalnya busana pututhan hanya dikenakan oleh putro dan wayah dalem yang akan melangsungkan acara sunatan atau khitanan di rentang usia 7 hingga 8 tahun. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, busana pututhan seperti ini juga dikenakan oleh kerabat Sultan.

Ada beberapa rangkaian acara yang harus dilakukan ketika prosesi pututhan. Mulai dari siraman, sungkeman, gres, dan resepsi. Meskipun terkesan ribet di zaman sekarang dan banyak atribut yang harus dilaksanakan, melestarikan budaya adalah kewajiban.

“Tradisi bukan sebuah pemaksaan, tapi kewajiban sosial,” ungkap Nyai Ndari.

Setelah menjelaskan prosesi pututhan, selanjutnya dijelaskan apa saja busana dan aksesoris yang harus dikenakan. Juga bagaimana urutan pemakaiannya. Sembari menjelaskan, Nyai Ndari dan Nyai Raras mempraktekkan langsung tata caranya.

Piranti busana yang harus ada adalah putut (topi), rompi, nyamping praos untuk Putra Raja dan nyamping biasa untuk umum, lonthong, boro, kamus dan timang, kalung susun 3, gelang binggel, rante dan karset (khusus untuk Putra Raja) dan bros. Jadi ada dua pembeda piranti busana khusus Putra Raja adalah kain nyamping dan rante karset.

Untuk kain nyamping anak Raja menggunakan kain praos atau prada. Yaitu kain batik yang dihias dengan benang perak atau emas. Untuk motif batik, bagi masyarakat umum juga tidak boleh menggunakan motif batik larangan, misalnya Parang. Rante dan karset juga hanya boleh digunakan oleh Putra Raja.

Workshop Pututhan, Memahami Islam Dalam Busana Adat Keraton Yogyakarta
Workshop Pututhan, Memahami Islam Dalam Busana Adat Keraton Yogyakarta

Pututhan sendiri diambil dari nama topi yang digunakan. Topi yang bernama puthut itu ternyata memiliki makna filosofis yang dalam.

Putut dalam dunia pewayangan digunakan oleh cantrik dan pertapa. Maknanya adalah pendekatan kepada Tuhan. Bisa juga diartikan sebagai pengembangan dari surban. Sehingga dalam acara pututhan ini selain terjadi transisi dari seorang anak yang akan menjadi akil baligh (dewasa), juga terjadi pendekatan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Pututhan memang sudah jarang dilakukan bahkan di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta sendiri. Baik karena prosesi adat ini menghabiskan biaya cukup banyak, orang zaman sekarang lebih memilih kepraktisan.

Meski begitu, belajar dan menjaga budaya adalah tetap sebuah kewajiban. “Upacara tradisi adalah cara untuk menghimpun doa. Semua yang datang akan turut mendoakan. Itulah salah satu maknanya,” ungkap Nyai raras.

Jadi dalam tradisi, ternyata menyimpan beragam kebijaksanaan dan kebaikan. Bukan hanya sekadar melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, tapi juga bersinergi dengan Alam Semesta untuk mendapatkan berkah-Nya.

Load More Related Articles
Load More By Kazebara
Load More In Event