Turning Point Pekan Budaya Difabel 2019 By Sany Maya Posted on 13 November 20196 min read 0 334 Share on Facebook Share on Twitter Share on Pinterest Share on Linkedin genpijogja.com – Pekan Budaya Difabel merupakan pengembangan dari kegiatan Jambore Difabel yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Sejak awal dilaksanakan tahun 2016 kegiatan ini selalu mendapatkan apresiasi dari komunitas difabel maupun masyarakat umum. Tahun ketiga ini Pekan Budaya Difabel akan dilaksanakan selama 3 (tiga) hari pada tanggal 16 – 20 November 2019 di Taman Budaya Yogyakarta.Turning Point Pekan Budaya Difabel 2019“Dahulu namanya Jambore Difabel, namun karena ada perubahan sesuai nomenklatur maka diubah menjadi Pekan Budaya Difabel. Tetapi esensi dari acara ini tidak berubah”, tutur Eni Lestari Rahayu selaku Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Alat Tradisi Lembaga Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan DIY pada jumpa pers di Pendopo Dinas Kebudayaan DIY Selasa (12/11) sore.Jumpa pers dihadiri oleh Erlina Hidayati selaku Sekretaris Dinas Kebudayaan DIY, Eni Lestari Rahayu selaku Kabid Pemeliharaan dan Pengembangan Alat Tradisi Lembaga Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan DIY, Purwiyati selaku Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan DIY, Rani selaku Pamong Budaya Dinas Kebudayaan DIY dan Broto Wijayanto seorang seniman.Kegiatan yang menghabiskan dana sekitar 500 juta ini mengambil tema Turning Point atau Titik Balik. Turning Point adalah sebuah momen penting dalam kehidupan seseorang dimana mereka menemukan pencerahan dari peristiwa-peristiwa yang dialami sehingga membuat mereka bangkit dan menginspirasi orang lain. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun potensi diri, support sistem dan infrastuktur yang mendukung lingkungan inklusi.Didukung posisi DIY yang merupakan daerah persilangan dari berbagai budaya, politik, ekonomi, historis dan sosiologis sehingga menjadikan keberagaman ini mengharuskan kita bersatu menciptakan lingkungan yang inklusi. Masyarakat difabel diajak untuk mengasah potensi mereka di bidang kebudayaan.“Perbedaan dalam keberagaman memunculkan keharusan kita terhadap diperlukannya daerah yang inklusi. Kita memunculkan perbedaan dalam sisi positif termasuk dalam bagian mendukung masyarakat difabel. Tidak hanya menyediakan infrastruktur namun mengasah potensi untuk menaikkan ekonomi golongan difabel,” jelas Erlina.“Diharapkan yang mengakses kegiatan ini tidak hanya golongan khusus difabel, tapi juga masyarakat umum agar dapat berinteraksi langsung dengan para difabel. Kemudian memunculkan kesadaran sehingga berefek dibuatnya kebijakan-kebijakan yang inklusi untuk kepentingan difabel,” lanjut Erlina.Turning Point Pekan Budaya Difabel 2019Kegiatan yang berlangsung selama 5 (lima) hari ini akan berlangsung di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta. Pekan Budaya Difabel akan diisi oleh kegiatan seminar, workshop, kelas isyarat, art therapy dan juga operet.Seminar dan launching buku Turning Point. Buku yang menceritakan tentang titik balik orang-orang yang berkaitan dengan difabel ini ditulis menggunakan dua aksara yaitu latin dan braile. Buku yang dicetak hanya 150 eksemplar ini ditulis oleh tujuh penulis yang berkutat langsung dengan difabel.Seminar sendiri akan diisi oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, Risnawati Utami dan juga ada pemutaran film dari Ucu Agustini.Workshop yang diadakan yaitu workshop tari, parenting serta workshop pengemasan dan pemasaran. Kemudian ada juga kelas isyarat dan art therapy. Art therapy ini merupakan produk dari Dinas Kebudayaan DIY yang sudah lama dilaksanakan, yaitu Mukti. Sebuah mobil terapi dengan seni rupa dimana golongan difabel diajak untuk melukis dan berkarya.Operet yang ditampilkan berjudul ‘Jalan Menuju Cahaya’. Dimana akan dimainkan oleh mahasiswa ISI, Komunitas Bawayang, Nali Tari dan juga Pyramid Show dari Malang.“Operet akan ditampilkan sebanyak dua kali, yaitu pukul 16.00 dan 19.30 WIB. Inti dari operet ini adalah menemukan kesempuranaan dalam ketidaksempurnaan,” ungkap Broto.Semua lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini dan membaur dengan lingkungan baru yang inklusi. Tak lupa anak-anak dari Art Children yang ikut berkolaborasi diharapkan dapat menjadi generasi baru yang sudah siap untuk menghadapi semua perbedaan dalam hidupnya.