Stasiun Tugu, Stasiun Paling Cantik di Indonesia

8 min read
0
2,298
Stasiun Tugu
Bentuk muka Stasiun Tugu Yogyakarta saat ini bergaya Art Deco

Dalam rangka memperingati 151 tahun jalur kereta api di Indonesia, kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang Stasiun Tugu yang menjadi salah satu landmark kebanggaan dari Yogyakarta.

Hampir semua orang mengetahui keberadaan bangunan Stasiun Tugu Yogyakarta, terlebih bagi mereka yang datang dan pergi menggunakan akses angkutan berbasis rel ini. Tapi, tahukah Anda bahwa Stasiun Tugu Yogyakarta pernah tercatat sebagai stasiun paling cantik di Indonesia?

Stasiun Tugu Yogyakarta diresmikan tanggal 2 Mei 1887 dengan bentuk lay out stasiun pulau. Apa sih, stasiun pulau? Stasiun pulau adalah bangunan stasiun yang kanan kirinya terdapat rel kereta api.

Pada kanopi emplasemen terdapat 44 tiang penyangga sejak tahun 1886 buatan Firma L. J. Enthoven te ‘s Gravenhage yang sama dengan stasiun di Den Haag Belanda.

Awalnya, jalur rel kereta api di Jogja, tidak seperti jalur rel kereta api yang kita kenal hari ini. Dulu, tidak ada jalur rel kereta api yang tersambung antara Stasiun Tugu Yogyakarta dengan Stasiun Lempuyangan. Pada awal pembangunan, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan stasiun paling ujung pada jalur kereta api antara Buitenzorg – Parijs van Java – Djocjacarta (Bogor – Sukabumi – Bandung hingga Yogyakarta). Sedangkan Stasiun Lempuyangan merupakan rangkaian jalur kereta api dari Semarang – Gundih – Solo Balapan hingga Lempuyangan.

Kedua jalur tersebut “menyatu” berkat dibangunnya jembatan yang membentang di atas Sungai Code pada 7 Juli 1887. Jembatan tersebut bernama “Jembatan Kerk Weg” atau yang akrab disebut sebagai jembatan Kewek.

Stasiun Tugu Yogyakarta mendapat julukan dari sebuah media massa terbitan Batavia, sebagai stasiun yang paling cantik di Hindia-Belanda. Bagaimana tidak? Waktu itu, bentuk muka Stasiun Tugu Yogyakarta masih menggunakan gaya arsitektur “neo klasik” yang penuh dengan keindahan detail.

Stasiun Tugu di era Kolonial Hindia Belanda
Bentuk muka Stasiun Tugu dengan gaya arsitektural neo-klasik di era Kolonial Hindia Belanda

Di era Hindia-Belanda, Stasiun Tugu Yogyakarta merupakan stasiun pemberhentian kereta api milik dua perusahaan kereta api yang berbeda, yaitu Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij dengan lebar rel 1435 mm dan Staatsspoorwegen dengan lebar rel 1067 mm.

Dikarenakan Stasiun Tugu Yogyakarta memiliki dua operator kereta api dengan karakter jalur yang berbeda, ketika itu tidak ada kereta api dengan trayek langsung dari barat Jawa (Bogor ataupun Jakarta) hingga Semarang ataupun Surabaya yang terletak di ujung timur Jawa. Untuk itu, setiap ada penumpang kereta api dari Jakarta tujuan Semarang atau Jakarta tujuan Surabaya, akan transit dahulu di Stasiun Tugu Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan dengan kereta lainnya.

Ini berlaku juga bagi penumpang dari Semarang tujuan Jakarta atau Surabaya tujuan Jakarta. Selain belum tersedianya trayek kereta api terusan di Stasiun Tugu Yogyakarta, perjalanan kereta api ketika itu hanya dapat dioperasikan siang hari. Hal ini dikarenakan alasan keamanan dan lain sebagainya.

Peluang tersebut dimanfaatkan oleh pengusaha dengan mendirikan hotel di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta. Sekitar tahun 1908, di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta berdiri dengan megah dua bangunan hotel yang dipisahkan oleh rel kereta api. Hotel tersebut adalah Hotel Toegoe dan Grand Hotel Djogjakarta (sekarang terkenal dengan Hotel Garuda).  Pasokan listrik untuk hotel dan sekitarnya memang sudah tersedia sejak tahun 1906 termasuk untuk sistem listrik untuk stasiun Tugu yang disupali dari ANIEM.

Hadirnya dua bangunan hotel tersebut dan tidak tersedianya kereta langsung Jakarta tujuan Semarang ataupun Jakarta tujuan Surabaya serta tidak adanya kereta malam, membuat para penumpang kereta api mau tidak mau, harus tinggal lebih lama di Yogyakarta.

Hingga pada akhirnya dibangun jalur kereta dengan lebar 1067 mm yang terpisah dengan jalur milik Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij oleh Staatsspoorwegen pada tahun 1925. Selain membangun jalurnya sendiri, pada tahun yang sama Staatsspoorwegen merombak bentuk muka bangunan Stasiun Tugu Yogyakarta dengan gaya Art Deco yang di masa itu, dianggap lebih modern. Bentuk muka Stasiun Tugu Yogyakarta setelah mengalami perubahan masih bisa kita lihat hingga hari ini, sebagai wajah dari Stasiun Tugu Yogyakarta yang kita kenal.

Setelah selesai membangun jalurnya sendiri, Staatsspoorwegen kemudian mengoperasikan kereta api cepat Eendaagsche Express atau kereta ekspres siang dengan trayek Weltevreden – Tjikampek – Tjeribon – Poerwokerto – Maos – Djocjakarta – Soeracarta – Madioen – Soerabaja Goebeng – Soerabaja Kotta PP pertama kalinya pada tanggal 1 Mei 1929.

Dibanding Stasiun Lempuyangan, derajat Stasiun Tugu Yogyakarta sejak zaman Hindia-Belanda memang sudah lebih tinggi. Di stasiun inilah para tamu penting menginjakkan kakinya di tanah Jogja. Mulai dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Sunan dari Surakarta hingga presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno. Beliau-beliau pernah singgah di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seperti tampak pada gambar di bawah, sambutan kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Gubernur Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborough di Stasiun Tugu
Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborough di Stasiun Tugu Yogyakarta

Selain melayani jalur Yogyakarta – Jakarta dan Yogyakarta – Semarang atau Surabaya, Stasiun Tugu Yogyakarta di masa itu juga melayani jalur menuju ke selatan (Bantul) dan ke utara (Magelang).

Jalur kereta api dari Semarang hingga Lempuyangan saat ini menjadi jalur kereta api tertua di Indonesia. Kelak jalur inilah yang menjadi cikal bakal dari semua jalur kereta api di Pulau Jawa. Kisah ini juga menasbihkan ramalan Jayabaya bahwa suatu hari nanti “Jawa akan berkalung besi”.

Hari ini 10 Agustus 1867, 151 tahun yang lalu, besi pertama ditancapkan oleh Hindia Belanda untuk membelah tanah Jawa. Sederet kisah panjangnya akan kita bahas di tulisan selanjutnya.

Selamat berkelana.

Load More Related Articles
Load More By Dewangga Liem
Load More In Heritage