Menggemakan Batik ke Seantero Dunia: Simposium Jogja International Batik Biennale 2018

7 min read
0
379

Tabuh gong menggema sebanyak tiga kali menandakan Simposium Internasional dalam rangkaian Jogja International Batik Biennale 2018 resmi dibuka oleh GKR Hemas.

Simposium Internasional ini adalah salah satu dari rangkaian acara JIBB 2018. Berlokasi di Hotel Royal Ambarrukmo, acara ini dihadiri ratusan peserta dari berbagai negara dan latar belakang keahlian, khususnya pada keahlian seni kriya dan batik.

Jogja International Batik Biennale 2018 (Foto milik Humas Jogja)

Simposium internasional menjadi sangat istimewa dengan hadirnya Gubernur D.I Yogyakarta dan Gubernur Jawa Tengah. Keduanya didaulat sebagai keynote speaker untuk membuka cakrawala berpikir para peserta simposium. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah mengawali paparannya tentang pengalaman beliau saat bertemu dengan pengrajin Batik Rifaiyah di Batang, Jawa Tengah. Sesuatu yang unik dalam proses membatik, Batik Rifaiyah diiringi shalawat atau puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW saat canting mulai meneteskan cairan malam pada helai kain.

Pengalaman Ganjar membawanya pada kesimpulannya bahwa batik bukan hanya sekedar kain, namun ada makna filosofis dan spiritualitas di dalamnya. Nuansa kultural dan kesejarahan menjadikan batik sebagai rangkaian cipta, rasa dan karsa manusia. Tentu pantas kiranya batik didaulat sebagai warisan dunia yang harus terus dijaga dan dilestarikan lewat berbagai inovasi sesuai perkembangan zaman.

Keynote Speech kedua datang dari Sri Sultan HB X yang bertajuk Batik dan Diplomasi Budaya. Nusantara di masa silam diyakini menjadi tempat bertemunya berbagai kebudayaan terutama di Asia. Salah satu yang berpengaruh adalah agama dan estetika dari India sejak milenium pertama. Budaya India ini dipercaya memberikan andil dalam proses pembentukan budaya nusantara termasuk produk kebudayaan seperti batik. Namun perlu diketahui bersama bahwa batik kini menjadi warisan leluhur nusantara yang kini terus mengalami perkembangan dan inovasi.

“Batik bukanlah sesuatu yang hadir secara tiba-tiba. Batik hadir sebagai sebuah proses budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi”, ujar Sri Sultan HB X yang di sambut riuh tepuk tangan menggema, disusul majunya para narasumber simposium ke panggung di dampingi moderator, Prof. Rahardi Ramelan.

Pentingnya perlindungan produk budaya seperti batik menjadi agenda pemerintah Indonesia yang harus disegerakan. Hal ini diungkapkan Stephane Passeri, narasumber pertama yang mengawali simposium ini. Perlindungan Batik Indonesia secara internasional mutlak dilakukan untuk melindungi produsen batik serta membangun kepercayaan konsumen dunia. Geographical Indication adalah sebuah lembaga yang mengupayakan negara-negara anggota World Craft Council untuk mendaftarkan karya budaya masing-masing untuk diberikan perlindungan seperti hak cipta hingga upaya klaim dari pihak tertentu atas karya budaya.

Passeri juga mengingatkan bahwa hanya setelah dilindungi di negara asalnya, Geographical Indication dapat meminta perlindungan di negara anggota lainnya. Untuk kasus Indonesia, karya budaya di daftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM.

Kisah dan pengalaman merawat karya budaya serupa batik datang dari narasumber kedua yaitu Kenichi Ichikawa. Perjuangannya dalam mengangkat kimono yang mengalami keterpurukan sejak masuknya gaya hidup Barat di Jepang pada akhir 1970. Kimono tidak lagi menjadi busana sehari-hari warga Jepang dan berdampak pada sektor produksi Kimono di negeri Sakura. Sebagai seorang desainer, Ichikawa mulai menginovasi model kimono sesuai trend fashion dunia yang sedang berkembang. Permainan pada warna, motif dan bentuk kimono berhasil membuat masyarakat Jepang secara pelan-pelan kembali menggemari kimono.

Jogja Internasional Batik Biennale 2018
Jogja Internasional Batik Biennale 2018

Kisah sukses kimono diharapkan mampu mengilhami industri batik di tanah air. Ichikawa optimis bahwa batik mampu bertahan dan mendapatkan tempat istimewa pada fashion di Indonesia dan dunia. Hal ini sangat bergantung pada kemampuan para pelaku industri batik dalam mengolah dan membentuk kembali pola batik yang disesuaikan dengan trend fashion dunia.

Sebagai warisan dunia, batik diharapkan mampu bertahan dan berkesinambungan dalam hal produksi dan inovasi. Namun sebagai warisan dunia, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan batik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah penggunaan pewarna yang seharusnya mampu mendukung pelestarian lingkungan, papar Prof. Supanee Chayabutra dari Natural Colour Researcher Thailand.

Pewarna alam mudah ditemukan di sekitar kita dan bahan yang ramah lingkungan. Butuh ketekunan dan kesabaran dalam mengolah bahan alam menjadi pewarna pada produk tekstil seperti batik. Namun jika tidak dimulai dari sekarang, maka alam akan tercemar dengan limbah pewarna kimia yang tak ramah lingkungan.

Konsep “Kembali ke Alam” menjadi inti materi yang disampaikan Chayabutra dan menutup sesi presentasi para narasumber simposium.

Materi yang menarik disertai penyampaian data visual ini memantik beragam diskusi dari para peserta simposium. Gelaran simposium ini mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam industri batik serta akademisi yang konsen pada karya kriya dunia.

Sudah sangat tepat jika even Jogja International Batik Biennale 2018 menggelar simposium bertaraf internasional untuk terus mendukung Batik sebagai Warisan Dunia.

Load More Related Articles
  • Kotabaru Map

    Kota Baru, Kisah Lama

    Wajah lama yang menyimpan kenangan masih bisa kamu jumpai di berbagai sudut Kota Yogyakart…
Load More By Erwin Djunaedi
Load More In Event