Memaknai Filosofi Jawa dalam Symposium Kraton Jogja By Pras Chandrawardhana Posted on 1 week ago5 min read 0 6 Share on Facebook Share on Twitter Share on Pinterest Share on Linkedin Mengenal berbagai jenis vegetasi yang ada di Sumbu Filosofi Yogyakarta dari Panggung Krapyak hingga Kraton tidak hanya sekedar tanaman belaka. Berbagai jenis vegetasi tersebut memiliki makna yang luar biasa dalam filosofi jawa. Hal inilah yang banyak disampaikan oleh para pembicara dalam gelaran International Symposium on Javanese Culture 2023 yang diadakan oleh Kraton Jogja. Acara yang digelar selama dua hari sejak Kamis (9/3) dan Jumat (10/3) di Hotel Royal Ambarukmo ini sukses. Dengan menghadirkan berbagai ahli, peneliti dan akademisi yang meneliti tentang kebudayaan Jawa, acara ini menjadi ladang ilmu bagi para peserta yang hadir. Mengangkat Tajuk, “Vegetasi: Makna dan Fungsinya dalam Menjaga Kelestarian Alam dan Tradisi di Keraton Yogyakarta”, acara ini menjadi media berkumpul dan bertukar pikiran serta mengajak masyarakat kembali untuk memahami dan memaknai setiap sendi kehidupan dengan nilai-nilai budaya jawa yang telah ada sejak dahulu kala. Symposium yang diadakan setiap tahun ini juga merupakan bagian dari rangkaian acara Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X. Symposium tahun ini diadakan dalam empat sesi yang terbagi menjadi sesi Sains, Sejarah dan Filosofi, Sosial Budaya dan Sastra. Di hari pertama, sesi Sains dan Sejarah memberikan berbagai pengetahuan mengenai ragam vegetasi yang ada di sekitaran Kraton Jogja memberikan efek tidak hanya sebagai area hijau namun juga memberikan filosofi yang mendalam. “Melalui call for paper, panitia penyelenggara tahun ini menerima 36 abstrak dari peneliti dalam dan luar negeri. Keseluruhan abstrak atau paper kemudian ditinjau oleh 4 reviewer, hingga mengerucut 12 paper terpilih yang akan didiskusikan dalam sesi sejarah, sains, sastra, dan sosial budaya,” papar GKR Hayu selaku Ketua Panitia dalam gelaran Symposium Internasional ini.Selain mendengarkan paparan menarik dari berbagai narasumber, symposium juga mengadakan Talkshow dengan GKR Hayu dan KPH Notonegoro. Dalam talkshow, GKR Hayu menjelaskan struktur pemerintahan yang ada di dalam benteng Kraton Jogja. Menurutnya, dengan adanya perubahan zaman, kita tetap dapat melestarikan kebudayan dengan tentu adanya perubahan yang mengikuti perkembangan zaman. Ia juga menunjukkan bahwa di Kraton juga terdapat Women Empowerment yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkembang bersama dengan laki-laki. Dalam kesempatan ini juga, Keraton Yogyakarta merilis buku Buku Awisan Dalem Batik. Awisan Dalem dapat diartikan sebagai batik larangan. Atau yang berarti motif yang memiliki aturan tertentu dalam penggunaannya. Tidak boleh sembarangan digunakan oleh masyarakat umum ketika berkunjung ke Keraton. Awisan Dalem dipercaya memiliki makna filosofi dan kekuatan spiritual tertantu. Jenis-jenis batik Awisan Dalem ditentukan oleh Sultan yang bertahta.“Pada sesi talkshow ini, kami juga akan merilis Buku Awisan Dalem Batik. Buku katalog tersebut akan menampilkan motif-motif batik apa saja yang menjadi Awisan Dalem atau motif larangan dan bukunya akan kami bagikan gratis bagi yang hadir di hari kedua simposium,” pungkas KPH Notonegoro.Ia juga berharap, dengan adanya Buku ini, Masyarakat dapat belajar kembali mengenai budaya awisan.“Harapannya, masyarakat bisa bangga dengan budaya yang telah ada sejak zaman dahulu, kita mencoba menjaga kebudayaan tersebut dengan juga menerapkan aturan yang ada”, tambah KPH Notonegoro. Pada gelaran Symposium hari kedua ini, Sri Sultan Hamengku Buwono yang hadir memberikan apresiasi dalam penyelenggaraan acara ini. Dalam sambutannya, Sri Sultan HB X memberikan tambahan sebagai pelengkap dari terselenggaranya acara ini. “Filosofi Manunggaling Kawulo Gusti itu luas. Harapannya dengan adanya Symposium ini masyarakat tau dan sadar dengan adanya kebudayaan kita.”ungkap Sri Sultan HB X.