Makam Tembayat, Monumen Islamisasi Jawa Tengah Bagian Selatan

9 min read
0
1,229

genpijogja.com – Makam Tembayat, Klaten adalah salah satu makam yang paling ramai dikunjungi di Jawa Tengah bagian selatan.

Walaupun tidak seramai atau seterkenal makam-makam Walisongo di Pantai Utara Jawa, namun makam ini tetap memiliki posisi penting di sejarah Jawa. Bahkan menjadi monumen legitimasi spiritual raja paling besar dalam sejarah kerajaan Mataram Islam.

Gapura Panemut di Makam Tembayat. Terlihat bentuknya yang masih mirip candi Jawa Timuran.
Gapura Panemut di Makam Tembayat. Terlihat bentuknya yang masih mirip candi Jawa Timuran.

Memangnya, siapa sih Sunan Bayat?

Sunan Bayat atau Ki Gede Pandanaran adalah adipati Semarang yang kedua. Menurut Babad Tembayat, Ki Gede Pandanaran adalah bupati kaya raya.

Akibat tertarik dengan ‘ilmu’ yang dimiliki Sunan Kalijaga, Ki Gede Pandanaran kemudian ingin menjadi muridnya. Sunan Kalijaga kemudian menyuruhnya untuk menyebarkan agama Islam di Bayat. Oleh Sunan Kalijaga, Ki Gede Pandanaran diberi nama Sunan Bayat.

DSC00781

Nisan-nisan di Makam Tembayat

Dalam perjalanannya menuju Bayat, Ki Gede Pandanaran singgah di banyak tempat dan mendapati berbagai kejadian penting.

Kejadian-kejadian penting tersebut menjadi asal usul nama beberapa daerah yang dilaluinya seperti Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Sunan Bayat disemayamkan di bukit Jabalkat yaitu posisi Makam Tembayat kini.

Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan Sunan Bayat hidup, diperkirakan Sunan Bayat hidup pada abad ke-15 dan ke-16 bersamaan dengan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

DSC00969

Gapura Segara Muncar

Makam Sunan Bayat terdiri dari beberapa bagian yang dipisahkan oleh gapura-gapura. Bagian paling bawah adalah gapura berbentuk candi bentar bernama Gapura Segara Muncar.

Kemudian di atasnya lagi adalah Gapura Dhudha yang memiliki bentuk gapura candi bentar. Namun, gaya seni Gapura Dhudha berbeda dengan Segara Muncar.

Setelah menaiki anak tangga, terdapat masjid dengan gapura paduraksa yang tidak utuh lagi bernama Gapura Pangrantunan.

Pada bagian ini mulai banyak makam-makam kuna. Beberapa di antaranya memiliki cungkup di atasnya dan memiliki jirat (bagian badan nisan) yang panjang.

Setelah Gapura Pangrantunan, terdapat dua gapura berbentuk candi bentar dengan bentuk yang mirip yaitu Gapura Panemut dan Gapura Pamuncar.

Sebelum memasuki bagian utama dari Makam Tembayat, terdapat Gapura Bale Kencur dengan bentuk paduraksa berdaun pintu. Gaya seninya paling berbeda dibandingkan gapura lain.

DSC00767

Gapura Pangrantunan

Bagian paling tinggi adalah cungkup utama yang berisi makam Sunan Bayat dan para orang-orang terdekatnya.

Berbeda dengan gapura-gapura di bawah seperti Panemut dan Segara Muncar yang berupa bata expose. Cungkup utama berupa bangunan batu yang diplaster.

Atapnya berupa atap tajug yaitu atap berbentuk piramida dan ditopang oleh saka atau tiang kayu. Makam dari Sunan Bayat ditutupi oleh luwur berbahan kain mori.

DSC00910

Bagian dalam cungkup utama Makam Tembayat.
Di bagian tengah terdapat makam dari Sunan Bayat.

DSC00878

Gapura Prabayeksa dan di atasnya terdapat cungkup utama Makam Tembayat.

Sepeninggal Sunan Bayat, makam ini telah beberapa kali dipugar. Beberapa pemugaran penting adalah pemugaran pada masa kekuasaan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, dan pada masa Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.

Bukti pemugaran tersebut dibubuhkan pada inskripsi di gapura-gapura kompleks makam. Bukti pemugaran oleh raja Pajang dibubuhkan pada sengkalan di Gapura Segara Muncar yang bertanggalkan 1566 Masehi.

Sedangkan bukti pemugaran oleh Sultan Agung dibubuhkan pada Gapura Panemut yang bertepatan pada tahun 1633 Masehi.

DSC00965

Inskripsi di Gapura Segara Muncar.

Cerita di balik pemugaran makam Sunan Bayat oleh Sultan Agung

Pasca kedua kali gagalnya penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung (yang pada saat itu masih bergelar Susuhunan Agung) makin meruntuhkan mitos bahwa Ia tidak dapat dikalahkan.

Oleh karena itu, terjadi beberapa pemberontakan di wilayah kekuasaannya.

Salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh pemimpin agama di Tembayat dan Kejoran pada tahun 1630. Kawasan tersebut sudah lama menjadi basis konsentrasi faksi religius di Kerajaan Mataram.

Tiga tahun setelahnya, Sultan Agung berziarah ke Makam Tembayat. Selain itu, Ia juga memerintahkan memugar makam tersebut secara besar-besaran.

Ki Juru Taman, salah satu punggawa kerajaan sekaligus pamannya, ditugaskan untuk memugar sekaligus memperindah Makam Tembayat. Hal tersebut merupakan salah satu usaha rekonsiliasi antara otoritas politik kerajaan dengan kalangan religius yang berlawanan.

Ricklefs, sejarawan dari Australia, dalam buku Sejarah Indonesia Modern membaca ziarah tersebut sebagai titik balik dalam Islamisasi di Jawa, bersama dengan usaha-usaha lain seperti pengunaan penanggalan solar Hindu Saka.

Ricklefs beranggapan Sultan Agung ingin menempatkan dinasti Mataram di pusat, dan bukan di tempat yang jauh dari Islamisasi.

DSC00854

Gapura Pamuncar.

Cara menuju Makam Tembayat

Terlepas dari itu, Makam Tembayat tetap menjadi salah satu destinasi menarik untuk ziarah maupun menikmati seni kuna.

Kamu tidak perlu menjadi religius ataupun beragama Islam untuk berziarah (secara religius, arkeologis atau sejarah) di makam ini. Cukup berperilaku dan berpakaian sopan.

Lokasi dari makam ini hanya satu jam perjalanan dari Kota Jogja. Tidak terlalu jauh, bukan?

Jangan khawatir soal parkir. Di kawasan tersebut terdapat tempat parkir yang luas dan dapat menampung bus pariwisata, mobil, hingga motor.

Kamu dapat memilih menaiki tangga untuk naik ke makam atau menaiki ojek motor dengan ongkos sedikit lebih banyak. Pilihannya ada di kamu.

Baca juga artikel tentang Heritage atau tulisan menarik lainnya Muhammd Faiz.

DSC00925

Kompleks Makam Tembayat dari luar cungkup utama.

Referensi

Fajri, A. (2019). Dua Ziarah Agung: Makam Wali sebagai Sumber Otoritas Politik di Dunia Indo-Islam pada Abad ke 16-17. In D. A. Tanudirjo, Kuasa Makna: Perspektif Baru dalam Arkeologi Indonesia (Hlm. 49-88). Yogyakarta: Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada.

Jateng, B. (2016, September 28). KOMPLEK MAKAM TEMBAYAT. Diperoleh dari Indonesiana Platform Kebudayaan: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/komplek-makam-tembayat/

Ricklefs, M. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi.

Load More Related Articles
Load More By Muhammad Faiz
Load More In Heritage