Lautan hingga Lorong Waktu ARTJOG MMXIX Menghadirkan Konsep Kerusakan Lingkungan

6 min read
0
386

ARTJOG 2019 (selanjutnya ditulis ARTJOG MMXIX) akan kembali menampilkan karya-karya seniman dari dalam dan luar negeri di Jogja National Museum (JNM) pada 25 Juli-25 Agustus 2019 mendatang. Empat puluh orang seniman (individu maupun kelompok) dari Indonesia dan mancanegara (antara lain Austria, Australia, Filipina dan Singapura) akan memamerkan karya-karya terbaik mereka.

ARTJOG MMXIX memadukan seni kreatif, seni rupa dan beragam konsep seni lainnya. Desain, film, musik, hingga seni jenis baru dapat ditampilkan di ARTJOG MMXIX. Heri Pemad berharap ARTJOG MMXIX bersama dengan Jogja Art Week menjadi program kebanggan yang paling menjual di Jogja. Dia juga meminta BPS, Bekraf dan lembaga survei untuk menghitung dampak festival terhadap perkembangan perekonomian.

ARTJOG 2019 ini adalah sebuah penegasan. Dalam jumpa pers di Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Kamis (11/7/2019) Direktur ARTJOG MMXIX Heri Pemad, menjelaskan bahwa acara ini merupakan sebuah festival seni rupa kontemporer internasional di Indoensia. “Kemasan ARTJOG MMXIX masih sama, mengedepankan pameran seni rupa kontemporer dengan kemasan meriah. Sudah tidak lagi berbicara mengenai art fair, lebih pas disebut festival. Apa-apa ada,” ungkapnya.

IMG-20190711-WA0062

ARTJOG telah menyiapkan tema besar untuk tiga tahun ke depan. ARTJOG akan dibingkai oleh tema besar Arts in Common, yang diturunkan ke dalam tiga sub-tema kuratorial dalam tiga edisi festival setiap tahunnya. Agung Hujatniko, salah satu kurator ARTJOG MMXIX dalam jumpa pers (11/7/2019) menjelaskan “Idenya dari commons. Sifat terbukanya sangat khas dapat dimanfaatkan bersama. Konsep Arts in Common adalah seni untuk bersama. Banyak karya yang ditampilkan tentang lingkungan dan sumber daya alam.”

Jika ARTJOG tahun sebelumnya hanya menampilkan satu karya besar sebagai icon, tahun ini akan ada lima orang seniman lintas displin akan menampilkan karya-karya dalam skema proyek khusus. Mereka adalah Handiwirman Saputra, Riri Riza, Sunaryo, Teguh Ostenrik dan Piramida Gerilya (proyek kolaborasi antara Indieguerillas dengan Singgih S. Kartono). Karya-karya yang ditampilkan berhubungan erat dengan alam dan interaksi manusia.

Salah satu yang unik adalah karya Teguh Ostenrik yang tersinpirasi dari kerusakan terumbu karang di bawah laut. Karyanya yang diberi nama “Daun Khatulistiwa”, akan menghadirkan sebuah narasi tentang pentingnya kita menjaga keindahan dan kekayaan alam bawah laut. Mengambil inspirasi dari bentuk daun Jati, sebuah instalasi berukuran 9×6 meter ini akan hadir di dalam sebuah kubah yang disertai dengan unsur audio dan visual alam bawah laut.

Dengan presentasi yang memaparkan keindahan dan kekayaan alam bawah laut, diharapkan karya “Daun Khatulistiwa” adalah tempat berteduh, sebagaimana fungsi beberapa daun dalam kehidupan kita. Setelah pameran berakhir, instalasi tersebut akan dikirim ke lautan, sebagai tempat naungan pemulihan terumbu karang.

Santi & Miko dari Indieguerillas dengan Singgih Susilo Kartono (Spedagi Movement)  menghadirkan warung Murakabi yang artinya berguna bagi banyak orang. “Karya ini adalah reka ulang pasar tradisional. Ada performance dan program khusus setiap hari,” terang Ignatia Nilu, kurator  ARTJOG MMXIX. Selanjutnya ada Humba Dreams (UN)Exposed, persembahan film dari Riri Riza tentang seseorang yang merantau ke Jakarta tapi justru menemukan jalan hidup di kampung halamannya sendiri.

Karya spektakuler lain berupa sajian ekosistem mikro dalam wujud sebuah taman oleh Handiwirman. “Dengan pemahaman saya tentang taman, saya mencoba membangun ekosistem sendiri. Mencoba mengambil apa yang ada di lingkungan menjadi taman,” ungkap Handiwirman. Untuk ARTJOG MMXIX, Handiwirman menyiapkan sebuah karya yang berukuran besar yang akan hadir di area fasad Jogja National Museum. Sebuah karya yang akan ditempatkan pada lubang sedalam 4 meter dengan diameter kurang lebih 6 meter, dan menjulang tinggi sampai langit-langit gedung.

Terakhir, melalui karyanya yang akan dipajang di sepanjang pintu keluar pameran, Sunaryo akan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tentang kedirian manusia. Dengan instalasi yang menyerupai perangkap ikan dan berukuran sangat besar, publik akan mengalami permenungan terkait ruang dan waktu ketika menyusurinya. Dengan gabungan medium yang terdiri dari jalinan bambu, cermin, dan suara air, “Bubu Waktu” akan mengantarkan publik pada pengalaman menikmati karya seni yang kontemplatif. Lawang Kala tentang alam yang telah rusak.

 

 

Load More Related Articles
Load More By Kazebara
Load More In Event