Ada Yang Tidak Biasa Dalam Mata Yang Enak Dipandang

7 min read
0
374

genpijogja.com – Sebenarnya bukan hal yang sulit membaca habis buku ini dengan satu kali duduk saja. Namun tidak bagi saya. Alur yang ringan, gaya bahasa apa adanya, serta ide cerita yang ‘kurang ajar’ membuat saya ingin berlama-lama terjun di dalamnya.

Berlama-lama menikmati seni penipuan tingkat tinggi, menyusuri lorong-lorong terminal yang gelap dan pesing, hingga berjalan bersama Karsim. Melihat mayatnya sendiri yang baru saja tertabrak mobil saat Karsim hendak menyebrang.

 

Mata Yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari
Mata Yang Enak Dipandang – Ahmad Tohari

Mata Yang Enak Dipandang (cetakan ke empat; 2019) merupakan kumpulan cerpen berisikan 15 cerita berlatar belakang persoalan orang-orang pinggiran. Tentu saja, cerpen-cerpen ini sudah lebih dahulu terbit di beberapa media massa seperti Kompas dan Kartini di rentang waktu tahun 1983 hingga tahun 1997. Kemudian tahun 2013 penerbit Gramedia Pustaka Utama membukukan cerpen-cerpen tersebut.

Cerpen-cerpen di dalam Mata Yang Enak Dipandang, menurut saya begitu spesial. Selain sudut pandang yang tidak biasa, kumpulan cerpen ini berhasil mengangkat cerita berlatar belakang ‘pinggiran’.

Tidak melulu soal kemelaratan atau kesengsaraan hidup saja, kisah-kisah pinggiran disajikan apik dalam balutan narasi cerdas dan dewasa. Persoalan sederhana jadi bacaan asyik sarat makna. Jelas saja, Ahmad Tohari – sang penulis, bukanlah orang sembarangan.

Dalam karyanya yang lain, novel-novel Tohari selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau pinggiran. Dia begitu mengenal lika-liku kehidupan mereka dengan baik. Gaya bercerita Tohari begitu khas, personal tanpa kesan memaksa pembaca untuk menyetujui sudut pandangnya.

Salah satu cerita yang menjadi favorite saya adalah ‘Penipu Keempat’.

Iya. Meskipun ditulis sekitar 28 tahun yang lalu, sepertinya modus-modus operasional penipuan tidak pernah berubah. Lelaki dari Cikokol yang harus segera pulang karena anaknya sedang sakit, namun baru bisa berangkat jika ada seseorang yang sudi memberinya ongkos perjalanan. Wanita saleh utusan yayasan pemelihara anak yatim piatu Banyuwangi yang meminta sumbangan. Kemucing dan pisau dapur yang dijual dengan harga tiga kali lipat dari harga pasaran karena konon dibuat oleh anak-anak penyandang cacat. Nyaris, kita semua pernah mengalaminya langsung di era milenial ini.

Selain menceritakan persoalan-persoalan yang tidak basi, yang ‘kurang ajar’ adalah sudut pandang Tohari atas hal-hal seperti itu. Ia menyikapi semuanya dengan cerdas melalui tokoh Aku yang begitu adil dalam berpikir.

“Apabila sampean bingung, aku akan membantu mengatasinya. Aku akan bayar dua belas ribu untuk semua barang yang sampean bawa. Kemudian pergilah ke pasar dan sampean bisa mendapat barang-barang sejenis dan sejumlah ini hanya dengan empat ribu rupiah. Sampean masih punya untung delapan ribu dan modal sampean tak sedikit pun berkurang. Gampang sekali, bukan?”

Kata-kata itu, adalah kata-kata yang membuat si penipu kedua menjadi gugup dan membeku. Tak sepatah kata pun terucap. Terlihat tersiksa, namun diterimanya juga uang itu.

Alih-alih merasa tertipu, si tokoh utama malah menikmatinya. Bahkan dengan sengaja, ia menyusul orang Cikokol si penipu ketiga itu ke arah pasar.

“Ah, Bapak. daripada mendengarkan cerita yang bukan-bukan lebih baik Bapak kuberitahu alasan mengapa aku terpaksa jadi penipu”.

Kemudian, lelaki Cikokol itu merasa yakin dirinya telah berhasil menipu untuk kedua kalinya. Ceritanya begitu mengalir seakan-akan terasa nyata. Lengkap dengan sumpah demi tuhan, pembelaan dirinya menjadi sebuah seni penipuan tingkat tinggi. Saya rasa, bila memiliki selera humor yang sama, kita akan tersenyum kecil di beberapa bagian cerita.

Terlepas dari segala apa yang saya tulis, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, Mata Yang Enak Dipandang memang patut untuk dibaca. Kita bisa merangkai kembali kepingan-kepingan cerita menjadi sebuah makna kehidupan yang utuh. Tak jarang, kita sering dibuat lupa oleh kemegahan hidup yang nyatanya sering berada di balik kesederhanaan.

“Namun, apa jadinya bila orang Cikokol itu tahu bahwa ada penipu lain yang jauh lebih pandai, yakni dia yang hari ini memberi uang 14.000 rupiah kepada tiga penipu teri. Dengan 14.000 itu dia berharap Tuhan bisa tertipu lalu memberkahinya uang, tak peduli dengan cara apa uang itu di dapat”.

Judul : Mata Yang Enak Dipandang
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Mei, 2019 cetakan keempat
Ukuran buku : 13 x 20 cm
Jumlah halaman : 216 Halaman

Baca juga artikel tentang Review Buku atau tulisan menarik lainnya Mochamad Ripki.
Load More Related Articles
Load More By Mochamad Ripki
Load More In Buku